Keluar

Keluar

Keluar

Please Login

Lupa sandi ?

Login

The School Of Future Leader

Essai

IT Sanmar17 June 20171463 click

Pers Indonesia
 
Membumikan Wajah Merdeka Pers Indonesia
Oleh : Aylinda Yuwono*
(Naskah Esai Pemenang Juara II Tingkat Nasional 2017)


Pers yang tidak merdeka
tak mungkin menyatakan pikiran masyarakat,
melainkan (hanya) pikiran orang yang berkuasa saja.
Maka, azas yang baik untuk Negara
adalah Pers harus merdeka.
 
Menpen Amir Syarifuddin, Oktober 1945.

Di Media sosial (Medsos) siapa saja dapat dengan leluasa mengungkapkan informasi apa saja tanpa disaring dan diketahui kualitas serta aktualitasnya. Tinggal “klik” langsung tersebar luas. Hal ini tentu saja paradoks dengan eksistensi media arus utama, seperti koran dan televisi yang telah menjadi korban dari perkembangan dunia pers yang telah melenceng jauh dari kaidah jurnalistik.
 
Seakan-akan belum cukup, muncul lagi komersialisasi yang menjadi tantangan baru dalam dunia pers. Komersialisasi pers merupakan implikasi dari revolusi media yang mendorong media dengan visi ekonomi. “Komersialisasi” memang diperlukan untuk keberlangsungan sebuah perusahaan pers bila dilihat dari sisi biaya. Namun, memasuki era modern, komersialisPers Indonesiaasi pers yang tengah terjadi menjurus kepada “jual beli” tulisan belaka. Bahkan, ada juga yang menjadikan pers sebagai “tunggangan” slogan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Padahal pers sendiri sudah merdeka yang dilandasi oleh keluarnya UU No. 40 Tahun 1999.
 
Namun, pada kenyataannya, wartawan masih sering mendapat intervensi dari berbagai pihak yang akhirnya membuat kemerdekaan pers kembali dipertanyakan. Ke mana perginya pers Indonesia yang bebas merdeka itu? Bagaimana nasib anak muda nantinya bila pers tidak dapat mempertahankan komitmennya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan? Ya, setidaknya, penulis menemukan 4 dampak bagi Zetizen bila pers telah memasuki ranah komersialisasi.

Pertama, apatis media merajalela. Pers yang terjebak dalam permainan manipulasi informasi demi kepentingan tertentu dapat membawa Zetizen menjadi apatis terhadap media yang ada. Dampak komersialisasi pers ini akan membuat anak muda kehilangan kepedulian sosial, kepekaan berdemokrasi, dan menjurus ke arah sikap individualis. Daya kritis yang seharusnya dimiliki oleh generasi Z sebagai tunas muda bangsa digantikan oleh sikap “masa bodoh” yang tentunya berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia. Hubungan diantara haruslah bersifat B to B (business to business) dan tidak boleh mempengaruhi kekebasan pers. Selain itu, perlu ada pembatasan yang tegas antara divisi komersial dan divisi redaksi yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaannya sendiri. Sehingga, anak muda akan aktif dalam menanggapi berbagai berita yang sesuai dengan realita.

Kedua, berita hoax makin marak. Saya sebagai bagian dari Zetizen turut mengakui bahwa seringkali saya melahap mentah-mentah informasi yang tersaji dalam media sosial, teman keseharian anak muda. Memang media sosial adalah bagian dari arus informasi, tapi perlu diingat juga bahwa tidak ada “pengawas” dalam media sosial yang dapat memastikan kualitas dan kebenaran dari berita yang dipublikasikan. Saat ini, informasi sesuai fakta dan nyata yang terkandung dalam berita sulit ditemukan karena telah terkooptasi oleh kepentingan penguasa. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai-nilai luhur profesi wartawan yang harus mengedepankan kebenaran.

Ketiga, matinya budaya literasi. Bila pers terus dikendalikan oleh penguasa, budaya literasi akan mati di kalangan Zetizen. Literasi merupakan kegiatan membaca dan menulis. Budaya literasi merupakan hal yang sangat krusial dalam menghadapi tantangan global. Bila tidak digalakkan lagi karena banyaknya berita yang terkooptasi, kaum muda akan kehilangan ilmu pengetahuan dan kehilangan kesempatan untuk memperluas wawasan. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan literasi di sekolah secara intens yang dapat mencegah matinya budaya literasi.

Keempat, krisis orientasi hidup. Inilah dampak komersialisasi pers yang paling berbahaya. Kaum muda tidak lagi dapat menentukan pedoman dan pegangan hidup yang benar akibat berita tidak lagi independen. Bila ini dibiarkan dapat menjurus pada krisis orientasi hidup yang dapat mengarah kepada budaya kekerasan karena adanya saling curiga dalam mendapatkan informasi yang telah diterima. Oleh karena itu, peran keluarga dan sekolah dalam hal ini sangat penting. Keluarga dan sekolah dituntut untuk mengajarkan nilai-nilai moral yang benar sehingga generasi Z tidak terjerumus dalam pengetahuan yang menyesatkan.  
  
(* Penulis Siswi XII IPS)

Komentar :

Maaf belum ada komentar

Input Comment :

Nama
Email
Komentar Maks: 500 karakter
Very Happy Smile Sad Surprised Shocked Confused Cool Laughing Mad Razz
Embarassed Crying Evil or Very Mad Twisted Evil Rolling Eyes Wink Exclamation Question Idea Hammer
 

« Apr 2024 »
M S S R K J S
31 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11