Keluar

Keluar

Keluar

Please Login

Lupa sandi ?

Login

The School Of Future Leader

Pagelaran Seni 2017

IT Sanmar19 June 20171827 click

Pagelaran Seni
 
Indahnya Pesona Perbedaan

Tepuk tangan yang meriah dan antusias para penonton menjadi saksi suksesnya Pagelaran Seni kali ini. Penampilan yang prima serta alunan musik yang begitu syahdu telah berhasil dibawakan dengan serasi oleh masing-masing kelas 11 Santa Maria Surabaya. Dalam balutan berbagai kostum dan baju tradisional, para murid tampak anggun dan gemulai mengikuti irama lagu. Tak hanya tari tradisional saja yang ditampilkan, rupanya kreativitas murid-murid kelas 11 dan guru seni membuahkan perpaduan tari tradisional dan tari modern yang menawan. Berbagai pertunjukan drama yang memukau juga berhasil mengambil hati para penonton. Tak hanya acting dan performa murid yang keren, tapi kesan dibalik karya drama tersebut juga menarik. Berkat latihan serta sumbangan ide dari guru seni dan para siswa menjadikan terwujudnya penampilan yang memukau di atas panggung pensi pada kala itu.  Semua itu terangkum dalam acara Pagelaran Seni yang diselenggarakan di Gedung Cak Durasim, Minggu (7/5) lalu. Acara wajib tahunan murid-murid kelas 11 pada kali ini mengusung tema Pesona Bhinnekka.

“Melalui tema pagelaran seni kali ini, kami ingin mengajak seluruh warga SMA Santa Maria untuk ikut membudayakan budaya Indonesia yang beragam melalui pensi pagelaran. Sebab, Indonesia kan memiliki kebudayaan yang luar biasa serta mengagumkan. Terbukti melalui pagelaran seni kali ini, berbagai pertunjukan dapat berjalan lancar dan menghipnotis penonton, meskipun libur dan waktu istirahat kami (panitia) menjadi berkurang. Namun, semua itu sudah terbayarkan,” ujar Revo Sambora yang merupakan sie operator.

Keberagaman budaya yang memesona merupakan ciri khas Indonesia. Bukan Indonesia namanya, jika tiap daerah tidak memiliki perbedaan jenis tarian, musik, maupun bahasa. Oleh karena itu, siswa-siswi kelas 11 Sanmar – sapaan akrab Santa Maria Surabaya mengajak penonton untuk semakin mengenal aneka budaya Indonesia dan turut melestarikannya melalui berbagai pertunjukan selama kurang lebih 4 jam pada pagelaran seni kali ini.

“Selain menjadi produk akhir dalam memperoleh nilai akhir pelajaran Seni Budaya, kegiatan ini juga untuk pelajaran para siswa dalam mengembangkan intelegensi musik dan kinestetik, dan berorganisasi dalam masa persiapan hingga kekompakan kelompok maupun kelas. Yang ingin ditonjolkan dari pensi ini adalah bahwa para siswa mampu mempersembahkan acara kesenian yang resmi dan serius bagi orangtua hingga publik, layaknya seorang profesional. Selain itu, kesenian itu juga sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari humaniora,” tutur Khrisma Wibisono, guru PKn SMA Santa Maria Surabaya. “Meskipun sempat mengalami kendala dalam gladi bersih dan kurang maksimalnya latihan karena banyak tugas dan ulangan, tapi acara dapat berjalan dengan lancar karena adanya koordinasi satu sama lain dengan melakukan tanggung jawabnya dengan baik dan menjaga saling percaya satu sama lain. Selain itu, kerja keras juga mewarnai kinerja panitia sehingga berbagai kendala dapat diatasi,” imbuhnya lagi.

Keanekaragaman budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke merupakan aset yang tidak ternilai harganya, sehingga harus tetap dipertahankan dan terus dilestarikan. Namun, sayangnya, sebagai anak bangsa masih banyak yang tidak mengetahui ragam budaya daerah lain di Indonesia. Tak dipungkiri lagi, pengambilan tema Pesona Bhinnekka ini merupakan langkah yang tepat untuk melestarikan kembali kebudayaan Indonesia yang semakin jarang terlihat di kalangan masyarakat. Tak heran, jika ada negara lain yang mencomot begitu saja kebudayaan Indonesia menjadi kebudayaan miliknya. Meskipun begitu, kebudayaan Indonesia yang mendunia juga tak sedikit, lho! Bahkan, turis pun tak segan datang ke Indonesia hanya untuk menyaksikan berbagai pertunjukan budaya Indonesia. Oleh karena itu, warga Sanmar harus berbangga hati dengan kesempatan untuk menampilkan ragam budaya Indonesia ini. Tak perlu jauh-jauh pergi ke luar pulau, cukup di Gedung Cak Durasim saja, berbagai sajian menarik tarian lengkap dengan kostum tradisionalnya yang menawan serta alunan musik dari lagu-lagu tradisional Indonesia dapat dinikmati.

Ajang Eksistensi Komunal
Melalui acara pagelaran seni ini, siswa-siswi kelas 11 ingin membuktikan bahwa menonton pertunjukan budaya tradisional Indonesia bukanlah sesuatu yang ketinggalan jaman. Hidup di zaman yang serba cepat dan modern ini, membuat masyarakat terutama anak muda sudah tidak mengenal lagi lagu dan tarian tradisional Indonesia. Dikemas dengan menarik, perpaduan tarian dan musik tradisional dengan modern pun membawa keindahan yang nyata. Torehan lantunan musik yang merdu dan lenggokan di atas panggung tersebut masih bersemi di hati penonton. Spektrum penuh warna seakan memiliki mantra pemikat yang membuat para pegaduh pun menjadi tenang menikmati sajian pertunjukan ini.
 
Meskipun murid-murid kelas 10 harus berdesakan dan beberapa terpaksa duduk di bawah karena tidak kebagian bangku, tapi hal itu tidak menjadi masalah. Bermandikan peluh tidak membuat semangat mereka sirna. Justru, decakan kagum dan tawa sumringah yang keluar. “Suka deh waktu lihat penampilan dari XI Bahasa 1, mereka bisa membuat pembukaannya menjadi mengesankan. Biasanya, penampilan pertama kan justru yang kurang bagus, tapi mereka keren banget! Pesan dibalik pertunjukan ini benar-benar dapat. Mereka mengemasnya dengan sangat baik. Anti Gadget-Gadget Club, wooo!” Seru Angela Michelle, siswi X IPA 3 dengan bersemangat.

Tak hanya menjadi penonton, beberapa murid kelas 10 juga ada yang unjuk diri menjadi panitia. Bahkan, kedua MC acara pagelaran seni ini dari kelas 10, lho! Ya, itulah Santika X IPA 2 dan Hwee Kwan X IPS 1. Keduanya merupakan finalis putra-putri Sanmar 2017. Berbalut pakaian tradisional pula, mereka membawakan acara dengan ulung layaknya sudah berpengalaman. “Sebetulnya deg-deg an juga sih, takut kalau salah ngomong, apalagi ternyata ada  beberapa susunan acara yang diganti atau diralat jadi sempat kebingungan. Namun, pastinya tetap senang, soalnya bisa turut berkontribusi dalam acara kakak-kakak kelas 11,” kenang Hwee Kwan yang biasa disapa Bonar.

Ssttt, rupanya Steven Hanakin dari X IPA juga berpartisipasi menjawab quiz yang diberikan XI IPA 4 dalam acara Quiz Vamoz Sanmar. Ia berhasil menebak judul lagu yang dimainkan dengan karawitan dan mendapat hadiah. Sontak, pendukung Steven terutama dari kelasnya, X IPA 4, berteriak heboh dan meramaikan suasana. “Kaget banget awalnya ketika ditarik maju untuk menjadi penebak lagu, tapi asik dan seru banget! Apalagi aku berhasil keluar menjadi juara 1 di Quiz Vamos Sanmar. Lumayan, dapat tepak makan hehehe,”kata Steven.

Tak hanya siswa-siswi SMA Santa Maria Surabaya saja yang datang menonton. Orangtua murid kelas 11 juga memenuhi gedung Cak Durasim. Seperti orangtua dari Giovanny kelas XI IPS 2 yang menunjukkan kekagumannya dengan tepuk tangan riuh di setiap akhir pertunjukan.

“Tentunya sangat kagum, bagus sekali. Semua penampil benar-benar mengerahkan tenaganya untuk memberikan yang terbaik.  Tidak sia sia setelah berlatih cukup lama dan intens, pulang sore dan sebagainya, akhirnya mereka sukses memukau tadi malam. Semoga melalui pagelaran seni ini kali ini, kami sebagai orangtua berharap agar generasi penerus bangsa terutama anak–anak Santa Maria semakin mencintai kebudayaan Indonesia yang beragam, bukannya terus-terusan ikut tergerus budaya luar. Cintai budaya Indonesia agar tetap lestari,” kata Sylvia Nilawati, orangtua Giovanny XI IPS 2.

“Penampilannya mereka sebenarnya sudah bagus, tapi saya masih melihat ada yang kurang dari segi ekspresi maupun kekompakan. Meskipun begitu, ada banyak nilai-nilai kesenian Indonesia dan beragam budaya Indonesia yang menginspirasi.” ujar Siska, orangtua dari Elizabeth XI IPA 1.

Para alumni Santa Maria juga terlihat menikmati acara pagelaran seni ini, salah satunya adalah William yang merupakan alumni Santa Maria jurusan IPA tahun 2016. “Aku nggak sempat menonton sampai berakhirnya acara sih, tapi menurut aku XI IPA 2 pecah banget! Bisa memadukan film modern Disney Maleficent dengan tarian tradisional Indonesia, jadi nggak bikin boring. Kostum penarinya juga cocok, bahkan ada yang memakai kostum Maleficent juga! Oh iya, buat Sanmar, kenapa dari tahun saya sampai tahun ini Sanmar tidak punya aplikasi khusus untuk monitoring operator? Hehehe” Gelaknya.

Ragam Acara
Dimulai dari beberapa pembukaan, pertunjukan lalu dibuka oleh kelas XI Bahasa 1 yang menampilkan teater yang berkombinasi musik berjudul Anti Gadget Gadget Club. Diawali dengan suguhan video singkat murid-murid yang menggunakan topeng dan asyik sendiri dengan gadgetnya, khas anak zaman sekarang. Seakan-akan tidak peduli dengan sesama, hanya kepada benda kecil yang selalu disorotnya. Video singkat itu membuat penonton bak tercekik oleh kenyataan, media sosial yang membuat masyarakat terikat pada dunia maya. Tidak sampai situ saja, XI Bahasa 1 juga menghibur penonton dengan teaternya yang seputar gadget pula.
 
Pesan moral yang dibawakan XI IPS 1 juga tidak kalah menarik. Melalui teater singkat dengan judul Negeri Penuh Tikus, XI IPS 1 dengan atraktif memukau penonton. Diselingi drama singkat kisah cinta Harley Quinn dengan Joker, para pahlawan dan tokoh seperti Gatotkaca berusaha menyelamatkan Indonesia dari para tikus alias koruptor.

Hasil kolaborasi antara tarian modern dan tari kreasi tradisional membuat perpaduan warna yang indah layaknya gradasi. Kehebohan dari para siswa dalam menyusun karya seni untuk ditampilkan tampak jelas dari persiapan yang dilakukan oleh kelas tari. Banyaknya perombakan yang terjadi pada koreo serta konsep pun membuat para siswa dan Bu Eva selaku pembina kelas tari yang terlibat terus untuk berinovasi memunculkan sajian yang unik dan tidak mainstream. Ya, salah satunya adalah Gradasi hasil karya XI IPA 1 yang mengolaborasikan tarian modern dengan tari kreasi tradisional. Perpaduan warna yang dihasilkan membuatnya indah bak gradasi.

 ”Sungguh sangat melelahkan bagi saya untuk mengatur semua gerakan dan tata panggungnya. Seringnya kesalahan karena gerakan yang susah dimengerti oleh mereka dan kadang kurang disiplinnya anak-anak membuat saya was-was kalau saja penampilan tari ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Namun, itu semua diluar dugaan. Mereka dapat tampil serasi dan terlihat kompak di atas panggung,” beber Rhenata, ketua koordinasi tari.
 
Selain kelas IPA dan Bahasa, XI IPS 4 juga “menghidangkan” kolaborasi tarian luar negeri yang apik antara tarian India dengan tarian China. Seakan-akan mengajak penonton berkelana menyusuri negara lainnya, tarian dari XI IPS 4 ini diberi judul Kelana. Tak hanya itu, masih banyak pula perpaduan berbagai tarian seperti tari dari Kalimantan dan Papua. Kreativitas yang tinggi dan tentunya usaha siswa-siswi kelas 11 juga mempengaruhi kesuksesan pertunjukan ini. “Susah juga sih untuk menghasilkan karya seperti itu, apalagi jumlahnya mencangkup 1 kelas, jadi ngaturnya agak susah. Belum lagi tempat latihannya terkadang harus berebut dengan kelas lain dan properti pendukung yang rusak hingga tidak dapat digunakan. Untungnya, semua itu dapat teratasi berkat kerjasama yang baik juga bantuan dari panitia,” ungkap Belinda.

Berani beda, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan karya dari XI IPA 2. Ketika yang lain memadukan tarian tradisional dengan modern, siswa-siswi XIIPA 2 malah memadukan cerita Disney yaitu Maleficent dengan tarian tradisional. Dengan background cuplikan film Disney Maleficent, penari berlenggak-lenggok di atas panggung dengan busana tokoh Disney Maleficent, tak lupa dengan tanduk dan sayapnya pula. Sementara itu, disekelilingnya merupakan penari tradisional dengan kostum warna-warni yang tak kalah indahnya.

“Senang banget melihat pertunjukan dari kakak-kakak kelas 11. Apalagi kan aku penikmat musik dan menyukai tarian tradisional juga. Konsep yang mereka buat bagus-bagus,” ungkap Genetta siswi X BHS yang setia menonton pertunjukan.
    
Pertunjukan pagelaran seni ini resmi ditutup oleh kelas XI IPS 2 berjudul Donic Pen yang menampilkan pertunjukan musik yang bercerita tentang bolpen ajaib yang dapat membuat suara menjadi indah. Racikan improvisasi musik dan teater yang satu ini seakan menghipnotis penonton dan membuat bulu kuduk merinding. XI IPS 2 sukses menutup ancara kali ini hinga dibanjiri tepuk tangan meriah dan berbagai suitan pujian penonton. “Perjuangan sih ya pastinya, apalagi yang Sabtu seharusnya libur dan istirahat, menjadi masuk untuk latihan, latihan dan latihan. Tapi bangga sama hasil akhirnya. Memuaskan!” ujar Steven Bernard.

Di Balik Layar
Sungguh merupakan perjuangan yang besar juga untuk menghasilkan karya yang elok. Berlatih siang hingga malam bagai rutinitas yang harus dijalankan selama sekitar 6 bulan. Berbagai kenangan akan proses mulai dari yang manis hingga pahit, mewarnai perjuangan yang mereka lakukan. Tidak dipungkiri bahwa terkadang emosi pun keluar jika ada yang memaksakan kehendak mereka sendiri.  Namun, semua hambatan itu pun dapat di selesaikan dengan baik berkat bantuan dan kerja sama dari Bapak dan Ibu Guru, semua panitia bahkan para pekerja di gedung Cak Durasim sebagai operator lighting dan audio. Berkat usaha dan kerja sama pihak panitia, para penampil kelas XI, Bapak dan Ibu Guru , penampilan pentas seni berjalan lancar, penuh kreativitas yang ditampilkan dan lebih bervariasi dibandingkan tahun sebelumnya.  

Hasil yang ditampilkan terbukti sangat memukau, ada beberapa kelas yang menampilkan tarian dari Indonesia ataupun luar negeri, musik modern yang dimainkan dengan gamelan, dan teater yang menarik. Untuk menampilkan hasil akhir seperti ini diperlukan kerja sama yang hebat di kelas dan tentu saja tidak luput dari bantuan guru, seperti Pak Pambuko dan Bu Eva serta panitia.

Totalitas yang mereka lakukan dalam menggarap pagelaran seni tak hanya soal memikirkan gerakan serta konsep yang akan dibawakan, melainkan mereka juga memikirkan tempat yang nyaman untuk berlatih menari menjelang hari-H pelaksanaan pagelaran seni tersebut, seperti halnya kelas XI BAHASA dan IPA. Masing-masing dari koordinator kelas tersebut berinisiatif untuk menyewa studio tari yang bertempat di Lanmarc lt UG. Walau itu mengeluarkan biaya yang tak sedikit, tapi bagi mereka aksi yang memukau serta kekompakan yang terjalin di atas panggung merupakan pedoman bagi mereka untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menggarap pagelaran seni ini. Tak hanya di Lenmarc, siswa-siswi kelas 11 juga berlatih di aula Santa Maria hingga lewat pukul 09.00 malam, lho! Sungguh merupakan perjuangan yang terbayarkan, ya.

Lain halnya dengan persiapan dari siswa-siswi kelas musik. Kelas yang dipandu oleh Pak Pambuko ini juga tak kalah matangnya dalam mempersiapkan penampilan yang akan ditampilkan diatas panggung nanti. Kebanyakan dari kelas musik ini mengusung konsep dengan menggunakan jalan cerita yang unik. Seperti yang dibawakan XI IPS 2, dengan persiapan yang sudah dimulai kurang lebih dari bulan November 2016 mereka berlatih keras hingga terkadang mengorbankan waktu libur mereka ketika hari Sabtu untuk masuk hanya sekadar berlatih musik bersama Pak Pam. Konsep yang unik mengharuskan mereka untuk berkerja lebih keras tak hanya melatih kelihaian mereka dalam memainkan alat music, tapi juga mereka berusaha untuk membuat alat musik yang tidak menoton dengan memodifikasi barang bekas untuk dijadikan sebagai alat perkusi, sehingga mereka berhasil menciptakan kesan unik yang dibawakan diatas panggung tadi.

“Mulai dari alur dan konsep yang ganti berkali-kali, sampai kostum dan perlengkapan belum jadi pas H-1. Jenuh sampai tegang selalu kurasakan selama latihan. Untungnya, Donic Pen bisa mengakhiri acara dengan meriah. Aku sangat suka penampilan kelasku tadi, sangat totalitas di panggung dalam memainkan alat musik baik gamelan maupun perkusi. Usaha yang kami lakukan selama berbulan-bulan membuahkan hasil. Bravo XI IPS 2!” seru Ferdinand.

Banyak suka duka dalam persiapan hingga acara dilaksanakan. Beberapa hambatan yang dirasakan oleh panitia antara lain keterlambatan para penampil memberikan layout dan property panggung, persoalan lighting yang baru diminta pada saat menjelang tampil, bahkan pihak panitia pun terpaksa  harus menolak penggunaan smoke bom dan konveti demi keamanan dan kenyamanan.

“Repot sih soalnya aku kebagian mengurus lighting. Harus menyesuaikan lampunya dengan spot yang diinginkan. Banyak yang minta semaunya padahal semuanya kan nggak bisa diturutin. Belum lagi mengatur di gedungnya saat banyak yang tidak kebagian tempat duduk hingga aku dan panitia lainnya harus mondar mandir serta menenangkan penonton yang ramai,” ungkap Karel Sebastian, panitia dari X IPA.

Kesulitan yang serupa juga dirasakan oleh William dari XI IPA yang menjadi panitia pula, “Banyak kakak kelas yang selama latihan nitipin barang, tapi nggak diambil lagi. Kan dilema nih jadinya, bingung tadi siapa aja yang nitipin barang dan harus dikembalikan kemana. Selain itu sih ya susah juga ya ngatur banyak anak” kenangnya.

Lain halnya dengan panitia konsumsi yang juga kesulitan mengatur konsumsi. Karena kekurangan konsumsi di awal dan ada konsumsi yang baru datang beberapa menit setelah acara selesai pihak panitia pun kelabakan membagikannya. “Aku sempat kebingungan karena konsumsinya kurang dan penonton pun tidak mendapatkan konsumsi. Tapi tidak berselang lama, ada konsumsi datang, sehingga penonton yang keluar gedung disaat itu pun kebanjiran konsumsi. Pembagian konsumsinya kan jadi nggak adil, ada yang kebagian ada yang nggak, akhirnya banyak deh yang protes,” ujar Megumi XI IPA.

Tak hanya panitia dari kelas 10 yang merasakan suka duka tersebut, panitia dari kelas 11 dan 12 pun juga. Salah satunya yaitu ketua panitia, Silvester. “Sebetulnya persiapan yang dilakukan oleh panitia itu cukup matang. Mulai dari pembagian tugas, perencanaan, hingga pelaksanaan. Tinggal masing-masing bagian yang mengeksekusi pelaksanaannya dari arahan pembina. Meskipun begitu, saya senang dapat mengambil bagian terakhir dalam sebuah acara di sekolah ini dan banyak pelajaran yang bisa saya petik. Mulai dari mengatur emosi karena perbedaan pendapat sampai berbagai kesalahan teknis.” Jelas Silvester.

“Kalau bicara hambatan sih cukup banyak, mulai dari banyaknya kelas 12 yang tidak bersedia datang karena terhambat oleh liburan, hingga kesadaran dari kelas 11 sendiri yang kurang hingga seringnya terjadi kesalahan teknis saat gladi resik yang membuat estetika itu tidak tampak. Terakhir, duka yang terdalam adalah menyadari ini acara terakhir yang saya pimpin juga terakhir saya bisa bertemu adik-adik kelas sekaligus menyadarkan saya bahwa setelah ini saya harus melangkah keluar dari sekolah yang saya cintai ini. Sayonara, Santa Maria!” tambahnya.

Sementara itu, Levina sebagai sie acara dari kelas 12 merasakan hal yang lain lagi. Bagi Levina, problem yang sebenarnya itu karena disebabkan oleh beberapa kelas 11 yang ‘crash’ dengan panitia kelas 12. “Sebenarnya untuk mengatur acara ini sih not a big problem, soalnya mostly juga sudah di-handle duluan sama guru, kita lebih banyak kerja waktu di hari-hari menjelang acara berlangsung. Sebagai panitia, saya juga menyukai performa dari anak-anak kelas 11. Anak kelas 11 tahun ini tidak cuma menampilkan tarian sama musik yang estetis tapi juga benar-benar memikirkan konsep dengan matang, sehingga membuat audience tertarik and enjoy their perfomance even more.” terang Levina.

Terlepas dari berbagai hambatan dan suka duka baik dari sisi siswa-siswi kelas 11 sendiri yang mempersembahkan acara ini hingga para panitia dan guru-guru yang membantu jalannya acara, berbagai balada tersebut menyeduhkan karya yang menggelenyarkan. Segelintir lika-liku tersebut merupakan bagian dari proses yang membawa haru, kenangan, dan menjadikan alunan lagu yang estetik dan gerakan gemulai yang solid. Kebudayaan Indonesia yang sempat sirna di kalangan anak muda, menjadi bertanggar lagi di batang hidung warga Sanmar karena pagelaran seni kali ini. Bukan kebosanan dan keluhan yang keluar, melainkan mata yang tajam memandang ke arena panggung serta keantusiasan menunggu pertunjukan selanjutnya.

Hidup tak melulu soal beranjak ke depan, tetapi juga melihat ke belakang, saat terdapat barisan budaya tradisional yang hampir terlupakan. Pagelaran Seni ini menjadi wadah bagi seluruh warga Sanmar untuk menapakkan kaki dalam upaya pelestarian budaya. Selain menyadarkan kalangan muda untuk terus melestarikan budaya tradisional Indonesia seperti tarian dan lagu, melalui Pagelaran Seni ini pula, siswa-siswi berlatih mengekspresikan diri, mengeluarkan ide serta kreativitasnya, juga percaya diri.

“Terbukti, anak-anak kelas 11 tahun ini, berhasil mempertaruhkan harga dirinya dengan sangat baik!” Seru Pak Pambuko di penutup acara disertai tepukan tangan riuh rendah. Selamat dan Sukses, deh! (Elizabeth, Natasha, dan tim Fokus 49)

Komentar :

Maaf belum ada komentar

Input Comment :

Nama
Email
Komentar Maks: 500 karakter
Very Happy Smile Sad Surprised Shocked Confused Cool Laughing Mad Razz
Embarassed Crying Evil or Very Mad Twisted Evil Rolling Eyes Wink Exclamation Question Idea Hammer
 

« Apr 2024 »
M S S R K J S
31 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11