Keluar

Keluar

Keluar

Please Login

Lupa sandi ?

Login

The School Of Future Leader

Cerpen

IT Sanmar11 June 2018899 click

Cerpen 2018
-  Lanjutan Renascitur di Krisan edisi ke 32  -
    
Setiap manusia dilahirkan dengan kemampuannya masing-masing. Kemampuan yang diperoleh tersebut membuat manusia menggolongkan diri menjadi 2 bagian yaitu manusia biasa dan manusia berkeahlian khusus, atau yang dapat disebut juga sebagai indigo. Hai, namaku Sintya. Aku tergolong anak indigo murni yang memiliki kemampuan melihat masa depan melalui mimpi. Sayangnya, banyak orang yang menyalahartikan maksud dari indigo itu sendiri. Banyak yang mengira bahwa memiliki kemampuan melihat makhluk halus saja dapat disebut sebagai indigo. Padahal, sejatinya, seorang manusia dapat disebut indigo bilamana ia memiliki 2-3 atau lebih kemampuan dalam dirinya selain melihat makhluk halus. Dan aku? Tentu saja aku indigo murni, karena aku memiliki kemampuan untuk meilhat makhluk halus, berkomunikasi dengan mereka, melihat masa depan, dan merasakan kuat-lemahnya aura di sekitarku.
 
Aku pernah menjalin kasih dengan lelaki bernama Lukas selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Kisah kami tak seperti kisah pada orang kebanyakan. Dia orang yang dingin dan cuek. Bahkan seringkali ngga peka dengan berbagai macam kode yang ku beri. Pernah sekali dia menginap 3 hari di rumahku. Pasangan lain mungkin akan melakukan banyak hal bersama, seperti jalan-jalan, bergandengan, saling bertukar cerita, atau mungkin juga berpelukan. Namun, tidak dengan dia. Selama 3 hari lamanya itu, dia sibuk menonton televisi di rumahku. Bahkan aku yang ada tepat disebelahnya tak pernah digubris. Kontak fisik? Jarang sekali. Sampai saat itu pernah kucoba untuk menggenggam tangannya. Kode biar dimanja, gitu. Tapi yang ada? Dia malah menepis tanganku dan asik menonton acaranya.
 
Namun, ada beberapa fase yang menunjukkan bahwa dirinya bukanlah lelaki yang seperti itu. Ia dapat menjelma menjadi lelaki yang sangat romantis dan penyayang. Terutama saat kuberi tahu berbagai hal tentang apa yang kuterima dari mimpi-mimpiku, ataupun disaat aku merasa terpuruk karena sesuatu. Dialah satu-satunya penyemangat dan alasan dari senyum di setiap hariku. Sayangnya, kisah kami harus terhenti di tiga tahun. Bukan! Bukan karena tak ada kenyamanan, bukan juga karena merasa bosan. Tapi karena diriku direnggut oleh takdir hingga tak dapat lagi menemaninya. Apa maksudnya? Well then, let me tell you a little story about us.

Tahun 2012
Napasku memburu, jantungku berdebar kencang, dan kepalaku pening seketika. Sudah kesekian kalinya aku mendapat mimpi tentang kematianku sendiri. Dan, itu artinya seharusnya sudah kesekian kali aku menerima takdirku sendiri. Takdir bahwa aku digariskan untuk mati melewati tahapan yang tergambar pada mimpiku itu. Asal kalian tahu, mimpi pertama ada saat aku masih berada di bangku kelas 2 SMP.

Banyak masalah tak menentu yang mengantar besarnya rasa penasaranku ke berbagai cara untuk mengorek masa depan agar aku dapat mengetahui akhir permasalahannya. Maksudku ya, aku menemukan caraku sendiri untuk melihat masa depanku ataupun orang lain, tanpa diberitahu terlebih dahulu melewati mimpi seperti biasanya. Namun, ternyata, risiko dalam usahaku untuk melihat masa depan membuat umurku dipersingkat beberapa hari setelahnya. Dan inilah yang harus kuhadapi saat ini. Aku yang dulu selalu berhasil menemukan jalan keluar untuk menunda kematianku, kini tak lagi dapat menemukannya. Singkat kata, aku harus menerima takdir akan kematianku sendiri dalam waktu dekat.

Hari ini musim dingin, dan aku benci dengan hawa dingin. Dengan segera, ku pakai jaket berbulu dan sepatu boot ku, tak lupa juga dengan syal tebal nan hangatku. Kulirik jam tangan digital yang senantiasa menempel pada pergelangan tanganku. Tertera angka 7.50 disana, yang berarti Lukas sudah pasti duduk sambil melakukan suatu kegiatan di taman yang biasa kami kunjungi. Segera kuambil kunci mobilku, mengunci pintu rumah dan bergegas mengendarainya ke tempat yang kutuju.
***
Tak lama kemudian, sampailah diriku di taman ini. Tusukan udara dingin menyambutku saat pintu mobil kubuka. Jalanan yang tertutup dengan tumpukan salju membuat langkahku sedikit berat dan terasa sedikit basah. Aku bergidik kedinginan. Segera kucari sosok dirinya di antara sekian banyak orang yang berlalu lalang. Dan tepat di tengah taman, ku temukan dirinya yang tengah fokus menarikan jemarinya diatas keyboard laptop kesayangannya.

“Haii” sapaku sembari tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Namun, tak ada jawaban. Huuft, selalu saja seperti itu. Kuhentakkan kakiku dan kembali menyapa “HAAAII” dengan sedikit lantang tepat pada telinganya. Ia meringis, mengusap telinga kirinya yang sudah kuberi nada merduku, sambil menoleh sebentar ke arahku. Uhm, ya setidaknya merdu bagiku. Aku tersenyum dan duduk disampingnya.

“Ada apa?” tanyanya setelah ia menyadari adanya keheningan di antara kita. “Aku baru aja dapet mimpi lagi,” kataku “tentang kematianku lagi” aku menundukkan kepalaku. Dengan cepat, ia menoleh ke arahku. Meringkas seluruh barangnya, menyambar tanganku, dan menuntun kami berdua menuju mobil yang sempat ku parkir di ujung taman. Lalu, ia membuka pintu, mempersilahkan diriku masuk ke dalam tempat duduk sebelah pengemudi, dan segera mengantar diriku ke apartemen miliknya. Yap, inilah yang selalu ia lakukan ketika aku mau menceritakan mimpi yang kulihat padanya.
***
Setengah jam berlalu, kulangkahkan kakiku pada permadani hotel Verana ini. Design hotel yang elegan, tapi terlihat simple masih memukau ku. Kami berjalan mengikuti permadani merah menuju lift terdekat, dan ia menekan angka 3 di ambang lift. Sesaat setelah pintu tertutup, lift pun bergerak menghindari gravitasi. Keheningan sempat menyelimuti hingga kami sampai pada kamar 308, kamar apartemen Lukas.

“Ceritakan” ujar Lukas sesaat setelah ia duduk di sofanya. Tangannya mengarahkan remote ke salah satu pemutar musik di rumahnya agar benda tersebut dapat menenangkan pikirannya sejenak sebelum aku bercerita, lalu ia meletakkan kakinya diatas meja. Aku mengambil 2 gelas air dan membawanya ke meja dekat sofa yang ia duduki tersebut.

“Aku ditabrak oleh truk dari arah berlawanan,” jawabku setelah aku duduk di samping dirinya.
“Detail, please” pintanya.

“Uhm.. Saat itu, aku dan keluarga sedang berlibur ke luar kota. Aku lupa tujuannya. Awalnya semua terasa biasa, maksudku biasa seperti adikku yang selalu menyanyi sepanjang perjalanan, mama yang mengarahkan papa, dan aku yang selalu memandang keluar jendela. And yea..” kepalaku tertunduk, aku menahan air mata yang sedari kemarin bergegas keluar dari pelupuk mata. Sakit rasanya tiap kali mengingat mimpi yang berkaitan dengan kematianku sendiri. Rasanya seperti aku dilahirkan hanya untuk melihat kematian orang lain dan kematianku sendiri yang berulang-ulang namun gagal. Menyaksikan wajah mereka yang harus meninggalkanku selamanya benar-benar dapat mengiris hati.

Ia menghela napas. “Saat itu juga datang truk dari arah berlawanan yang berhasil menabrak mobilmu?”. Kata yang ia ucap semakin membuatku merasa terpuruk. Aku meneguk air agar dapat merasa sedikit rileks. Namun, baru saja seteguk, tiba-tiba aku merasakan tangan hangatnya yang melingkari perutku dan kepalanya yang bertumpu pada pundak kananku. Sesaat, aku merasa nyaman menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Dan kali ini lekuk bibirnya hendak menyentuh telingaku, lalu ia pun membisikkan “Don’t worry, everything’s gonna be alright. I love you, Sin”. Aku tertegun sejenak, hingga tanpa kusadari, air mataku turun begitu saja.
***
    

Tahun 2013
5 bulan berlalu sudah. Januari ini, mimpi yang sama terulang lagi dengan seluruh adegan yang tergambar jelas, dan itu artinya sudah semakin dekat saja ajalku.

Saat itu, aku sekeluarga senang akan keberhasilan adikku. Ia baru duduk di bangku kelas 6 SD dan mendapatkan nilai UN yang cukup tinggi diantara kawan sebayanya. Aku dan adikku memiliki 1 kesamaan, masing-masing dari kami menyukai tempat yang dingin dan jauh dari kebisingan kota seperti gunung. Maka dari itu, mama dan papa sempat membuat jadwal untuk kami agar dapat menikmati liburan bersama di suatu gunung.

Kira-kira 2 hari lamanya kami menginap di tempat tersebut. Pukul 15.00, kami bersiap untuk kembali. Kedua orangtua ku masih ‘buta jalan’. Akhirnya, pun mama yang memandu papa menggunakan GPS agar kami sampai di rumah dengan cepat. Adikku? Seperti biasa, menyanyi sambil menggambar dikala hatinya sedang senang. Dan aku lebih suka mendengar alunan merdu yang dilantunkan adikku sendiri sambil melihat kearah luar jendela. Menit-menit itu adalah menit terbahagia ku.

Tak lama kemudian, aku merasakan ada sesuatu yang ganjil. Mood ku yang awalnya senang pun berubah menjadi was-was dan takut. Saat itu mama dan papa sedang memandang gadget mereka untuk menentukan jalan mana yang lebih cepat saat dilalui. Segera ku tegakkan punggungku, lalu ku buka kaca jendelaku. Kepalaku sedikit menjulur keluar kaca, dan menyadari betapa dalamnya jurang yang ada di sebelah kiri mobilku. Aku menggidik ngeri. Lalu saat aku memasukkan kepalaku kembali dan melihat ke arah depan, ada sebuah truk dari arah berlawanan yang siap menghantam kami.

Aku tak sempat berteriak ataupun memperingatkan kedua orang tuaku, aku terlalu shock saat menyadari seberapa dekat mobilku dan truk itu. Dan itulah akhir dari hidupku. 3 bulan lagi, aku tertabrak oleh truk di sore hari dari seberang arah hingga mobil terpental menuju jurang. Seluruh anggota keluarga ku selamat dengan keadaan kritis, namun hanya akulah yang merenggang nyawaku. Tak apa, yang penting mereka selamat.
***
April 2013
Ia mematung di tempatnya setelah kuceritakan apa yang akan terjadi padaku. Rahangnya mengeras dan tangannya sedikit mengepal saat ia sadar bahwa tak ada lagi yang bisa kami perbuat untuk menyelamatkan diriku sendiri. Sedetik kemudian, kepalanya tertunduk. Aku tahu bahwa ia sedang merutuki dirinya sendiri saat ini, dan aku benci melihatnya harus seperti ini. Aku benci meninggalkan dirinya seorang diri, apalagi melihatnya berjuang sendiri di tengah kerasnya dunia ini.

Segera kupeluk dirinya seerat mungkin, mengelus kepalanya, dan berharap bahwa tindakanku dapat menenangkannya. Namun, kenyataan tak sesuai dengan harapanku. Kudapati dirinya yang menangis dalam diam di pundakku. Jujur, ini pertama kalinya aku merasakan sisi lemah dari dirinya. Aku menghela napas, lalu makin mengeratkan diri.

“Hei, Luk. Sshhh, tenang” ujarku sembari mengelus kepalanya. Ia masih terisak, namun lebih tenang dari sebelumnya.
Sesaat kemudian, ia memanggil namaku “Sin..” dan melepas pelukanku sembari menatap kedua mataku dalam-dalam.
“Hm?” tanyaku sambil mengusap matanya, lalu mengelus kedua pipinya sambil menatap ke dalam manik matanya. Ia tersenyum. “Thank you, Sin,” ujarnya “For everything”.
Aku tersenyum dan berkata “Well, Luk. Ada 1 hal yang harus kulakukan”.
 
“Aku harus melihat masa depanmu,” sambungku. Ia pun gelagapan. “Sin, jangan. Kamu sendiri tahu risiko dari memaksa kemampuan diri untuk melihat masa depan kan? Uhm lebih baik—“ dan aku pun menyela “Sshh, diam. Kali ini, tidak ada penolakan untukku”.

Dan inilah yang kulakukan. Aku duduk berhadapan dengannya. Menaruh kedua jariku pada pelipisnya, berkonsentrasi dan menatap matanya sedalam mungkin sebelum memfokuskan diriku saat menutup kedua mataku. Dan sesaat setelah kututup kedua mataku, aku dibawa pada bayangan-bayangan akan apa saja yang terjadi pada dirinya.

Biasanya hal seperti ini terjadi beberapa detik saja, karna aku hanya akan mencari 1 pengelihatan pada beberapa bulan ke depan. Tapi tidak dengannya. Aku mau melihat apa yang akan terjadi padanya dalam beberapa tahun mendatang. Tentunya, itu akan lebih menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga bagiku.

Aku mencapai menit ke-3. Kini kepalaku terasa sangat pusing dan darah mulai mengalir dari hidungku. Namun sejauh ini, aku baru mendapatkan 2 pengelihatan. Lukas yang menyadari hal itu pun segera berusaha untuk menghentikanku, namun aku tidak mengindahkan keinginannya. Yang terjadi beberapa detik kemudian? Aku pingsan.

Saat sadar, Lukas segera menawari teh hangat padaku. Ia menempelkan telapak tangannya pada dahi dan leherku. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir, dan aku gemas akan hal itu. Lalu ia duduk di sebelahku, dan aku berbasa-basi dengannya. Ia mengatakan bahwa aku terlihat sangat pucat, dan rautku terlihat lebih tua dari sebelumnya. Aku tidak heran, karena memang itulah efek samping dari kemampuanku. Tidak hanya umur, namun penampilan pun dapat menjadi lebih tua dari sebelumnya.

Sesaat kemudian, aku memberitahukannya tentang 3 hal yang akan terjadi di hidupnya selepas kepergianku. Pertama, seseorang yang sangat berarti baginya -yaitu ayahnya-  akan meninggal dalam kurun 2 tahun lagi. Kedua, 2 tahun sepeninggal ayahnya, ia akan menemukan orang yang sangat mirip denganku. Jika ia lelaki, maka kusarankan Lukas untuk menjadikannya seperti seorang saudara. Namun, jika ia perempuan, kusarankan Lukas untuk membahagiakannya dan selalu menjaganya seperti orang yang sangat ia kasihi, sama seperti diriku dengannya. Ketiga, tak lama setelah ia menemukan orang tersebut, kemampuan indigo nya yang masih tertutup akan terbuka lagi. Dan kehadiran orang tersebut akan membantu Lukas untuk menghadapi segalanya, termasuk dirinya sendiri.

Dan, begitulah akhir pertemuanku dengan Lukas. Ia memelukku erat sebagai tanda perpisahan, dan aku tersenyum. Aku meminta maaf atas diriku yang tak dapat lagi berjuang dengannya. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan karena sudah memberikanku kesempatan untuk ada di sebelahnya. 3 tahunku bersama dirinya berakhir disini. Dan kuharap, ia selalu bahagia dan dapat mendapatkan yang terbaik. (Cerpenis : Herman Josef Ekaputra)

Komentar :

Maaf belum ada komentar

Input Comment :

Nama
Email
Komentar Maks: 500 karakter
Very Happy Smile Sad Surprised Shocked Confused Cool Laughing Mad Razz
Embarassed Crying Evil or Very Mad Twisted Evil Rolling Eyes Wink Exclamation Question Idea Hammer
 

« Apr 2024 »
M S S R K J S
31 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11